Image Source : youtube.com/@curhatbang
Belakangan ini, kasus kopi sianida yang merenggut nyawa Mirna Salihin pada tahun 2016 silam, kembali marak dibicarakan masyarakat. Pasalnya, film dokumenter Ice Cold telah berhasil menguak sudut pandang tersembunyi sehingga melahirkan perpecahan opini pada masyarakat luas.
Melihat semakin maraknya pembicaraan atas kasus ini, jaksa Shandy Handika, salah satu jaksa yang menangani kasus ini pun angkat bicara. Pria yang sempat mendapatkan panggilan 'Jaksa Ganteng' ini secara terang-terangan mengaku kecewa dan menyebut isi film dokumenter ini tidak sesuai dengan kespektasinya. Lantaran, kala itu pihaknya hanya membahas hal seputar persidangan, dan tidak menyinggung materi perkara sama sekali. Hal ini diutarakannya dalam acara podcast CURHAT BANG milik Denny Sumargo.
"Sebenarnya tidak (sesuai ekspektasi), karena yang kami bayangkan adalah gambaran mengenai bagaimana seputar persidangan, karena itu lah yang ditawarkan oleh Netflix, bukan materinya" ujar Jaksa Shandy Handika dalam video yang diunggah kanal Youtube CURHAT BANG Denny Sumargo (10/10)
Tak hanya kepada pihak platform penayangan, Shandy juga mengaku kecewa pada pihak penasihat hukum Jessica yang justru kembali mengungkit kejanggalan yang ada dalam persidangan ini. Padahal, pihak jaksa sengaja tidak membahas isi perkara demi menghindari munculnya spekulasi liar di masyarakat.
Baca Juga: Kecewa, Sahabat Mirna Sebut Film Ice Cold Korek Luka Lama
"Tapi ternyata pada saat dokumenter ini muncul, ini ternyata pihak penasihat hukum masuk pada materi perkara, menggali lagi sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi analisa dan perdebatan 2016, kami menghindari itu, tapi ternyata pihak penasehat hukum membahas (kejanggalan)" lanjutnya
Selain Jaksa Shandy Handika, Prof. Edy Hiariej juga mengaku kecewa dengan dibahasnya kejanggalan-kejanggalan pada persidangan ini. Karena dengan ini, pihak yang membahas telah menyalahi etika hukum.
"Seharusnya kalau orang paham hukum film dokumenter seperti itu tidak lagi membahas kejanggalan, karena apa, kita di Fakultas Hukum itu diajarkan Postulat Res Judikata Pro Veritate Habetur. Artinya putusan pengadilan itu harus dianggap benar dan dihormati, jadi sudah tidak ada lagi perdebatan" ungkap Prof. Edy
Terlebih lagi, menurut Prof. Edy, kasus ini telah diuji kebenarannya sebanyak 5 kali dalam 4 tahap yang berbeda-beda.
"Apalagi kasus itu sudah diuji 4 kali, malah dikatakan oleh Mas Shandy PK dua kali, 5 kali (total). Jadi Pengadilan Negeri diputus 20 tahun, Pengadilan Tinggi 20 tahun, Mahkamah Agung 20 tahun, Peninjauan Kembali kata Mas Shandy 2 kali juga diputus 20 tahun, dan no dissenting opinion, berarti tidak ada pendapat hakim yang berbeda" pungkasnya (FR)